BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perlindungan
konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas
setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha. Saat
ini ada saja para produsen yang tidak mementingkan kesehatan dan keselamatan
konsumennya karena sering kita jumpai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh pihak produsen kepada pihak konsumen.
Undang
undang tentang perlindungan konsumen ini memang telah di terbitkan namun dalam
proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang undang itu sendiri belum maksimal
atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam undang undang tidak sesuai
dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran
yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan dengan tanggung jawab
produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan
bahkan jiwa dari para konsumen.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud konsumen ?
2.
Apa
Hak dan Kewajiban konsumen ?
3.
Apa
Azas dan Tujuan Prlindungan Konsumen ?
4.
Apa
sajakah Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha ?
5.
Apa
sajakah Prinsip Konsumsi dalam Islam ?
6.
Apa
sajakah Gerakan Konsumen ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian konsumen dan perlindungan konsumen.
2.
Mengetahui
aplikasi hukum perlindungan konsumen.
3.
Mengetahui
karakteristik dari hokum perlindungan konsumen.
4.
Mengetahui perbuatan yang dilarang
pada produsen.
5.
Mengetahui Prinsip Konsumsi dalam
Islam.
6.
Mengetahuin maksud pada Gerakan
Konsumen.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Konsumen
Pengertian konsumen menurut aphilip
kotler (2000) dalam bukunya principles of marketing adalah semua individu dan
rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi
pribadi. [1]
Konsumen itu sendiri dibedakan
menjadi dua :
a. Konsumen
Akhir adalah Konsumen yang mengkonsumsi secara langsung produk yang
diperolehnya.
·
Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum
Nasional) :“Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri
atau orang lain dan tidak diperjualbelikan”.
·
Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia): “Pemakai Barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi
keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk
diperdagangkan kembali”.
·
Menurut KUH Perdata Baru Belanda :
“orang alamiah yang mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang
menjalankan profesi atau perusahaan”.
b. Konsumen
Antara adalah konsumen yang memperoleh produk untuk memproduksi produk lainnya.
Contoh: distributor, agen dan pengecer. [2]
Ada dua cara untuk memperoleh
barang, yakni :
·
Membeli. Bagi orang yang memperoleh
suatu barang dengan cara membeli, tentu ia terlibat dengan suatu perjanjian
dengan pelaku usaha, dan konsumen memperoleh perlindungan hukum melalui
perjanjian tersebut.
·
Cara lain selain membeli, yakni
hadiah, hibah dan warisan. Untuk cara yang kedua ini, konsumen tidak terlibat
dalam suatu hubungan kontraktual dengan pelaku usaha. Sehingga konsumen tidak
mendapatkan perlindungan hukum dari suatu perjanjian. Untuk itu diperlukan perlindungan
dari negara dalam bentuk peraturan yang melindungi keberadaan konsumen, dalam
hal ini UU PK. [3]
Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor: 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Konsumen
didefinisikan sebagai “Setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk yang lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Tampaknya definisi
ini mengandung kelemahan karena banyak hal yang tidak tercakup sebagai konsumen,
padahal seharusnya ia juga dilindungi, seperti baan hukum, badan usaha, barang
yang tidak ditawarkan dalam masyarakat dan adanya batasan-batasan yang samar. Jika
sekiranya badan usaha yang memperdagangkan sebuah produk tidak masuk ke dalam
kategori pengertian konsumen rasanya kurang tepat, karena bagaimananapun badan
ini adalah ‘konsumen antara’ yang menjembatani antara produsen dengan
masyarakat selaku konsumen akhir. Justru karena itu agar badan usaha tidak
terjebak dari perilaku produsen yang melawan hokum, seyogianyadimasukkan pula
ke dalam lingkup pengertian konsumen, sehingga mereka juga patut mendapat
perlindungan hukum.
Pendapat lain merumuskan, bahwa
konsumen adalah setiap individu atau kelompok yang menjadi pembeli atau pemakai
akhir dari kepemilikan khusus, produk, atau pelayanan dan kegiatan, tanpa
memperhatikan apabila ia berasal dari pedagang, pemasok, produsen pribadi atau
public, atau apakah ia berbuat sendiri ataukah secara kolektif.
Dalam Islam tampaknya belum di konkretkan
secara definitive, siapakah sebenarnya konsumen itu? Mengutip pendapat M. Abdul
Mannan secara sempit menyinggung bahwa konsumen dalam suatu masyarakat Islam
hanya dituntun secara ketat dengan sederatan larangan (yakni: makan daging
babi, minum minuman keras, mengenakan pakaian sutera dan cincin emas untuk
pria, dan seterusnya).
Apa yang dikemukakan Mannan di atas
jelas bukanlah sebuah rumusan pengertian dari sebuah difinisi konsumen. Tetapi
hanya menggambarkan secara sederhana mengenai perilaku yang harus dipatuhi oleh
seorang Konsumen Muslim. Oleh karena itu sebagian gambaran, yang dimaksud
Konsumen menurut penulis adalah “setiap orang atau badan pengguna produk, baik
berupa barang maupun jasa dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku.”
Bagi Konsumen Muslim dalam mengkonsumsi sebuah produk bagaimanapun harus yang
halal, baik, dan aman. Karena itu disinilah arti pentingnya produsen melindungi
kepentingan konsumen sesuai dengan ketentuan yang bersumber dari ajaran agama
yang mereka anut tanpa mengabaikan aturan perundangan Negara yang berlaku.
2.
Hak dan
Kewajiban Konsumen
Pada era globalisasi dan perdagangan
bebas dewasa ini, sebagai dampak kemajuan teknologi dan informasi,
memberdayakan konsumen semakin penting. Untuk pemberdayaan itu di Negara kita
telah dibuat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Dalam hal ini ada dua pasal yang
perlu diperhatikan, yaitu yang mengatur hak-hak konsumen, disamping kewajiban
yang harus dilakukan.
a.
Hak Konsumen
(Pasal 4)
·
Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang, atau jasa
·
Hak untuk memilih barang dan jasa
serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi
serta jaminan yang dijanjikan
·
Hak atas informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jamina barang atau jasa
·
Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan
·
Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelasain sengketa perlindungan konsumen secara patut
·
Hak untuk pembinaan dan pendidikan
konsumen
·
Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
·
Hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
·
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
b.
Kewajiban
Konsumen (Pasal 5)
·
Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakain atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan
dan keselamatan
·
Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang atau jasa
·
Membayar sesuia dengan nilai tukar
yang disepakati
·
Mengikuti upaya penyelesaian hokum
sengketa perlindungan konsumen.
Dengan terbitnya undang-undang
tersebut maka diharapkan kepada para pelaku bisnis untuk melakukan peningkatan
dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa dirugikan. Yang penting dalam hal
ini adalah bagaimana sikap produsen agar memberikan hak-hak konsumen yang
seyogianya pantas diperoleh. Di samping agar juga konsumen juga menyadari apa
yang menjadi kewajibannya. Di sini dimaksudkan agar kedua belah pihak saling
memperhatikan hak dan kewajibannya masing-masing. Apa yang menjadi hak konsumen
merupakan kewajiban bagi produsen. Sebaliknya apa yang menjadi kewajiban
konsumen merupakan hak bagi produsen. Dengan saling menghormati apa yang
menjadi hak maupun kewajiban masing-masing, maka akan terjadilah keseimbangan (tawazun) sebagaimana yang di ajarkan
dalam ekonomi islam. Dengan prinsip keseimbangan akan menyadarkan kepada setiap
pelaku bisnis agar segala aktivitasnya tidak hanya mementingkan dirinya
sendiri, namun juga harus memperhatikan kepentingan orang lain.
Salah satu wujud perlindungan pada
orang lain, kepada produsen dituntut agar setiap produk yang akan dihasilkan
aman bahan bakunya, benar prosesnya dan halal zatnya sehingga dengan demikian
bisa menjawab pertanyaan Mannan sebagaimana dikutip sebelum ini, yakni untuk
siapakah barang dan jasa dihasilkan, barang dan jasa apa yang akan dihasilkan,
dan bagaimana cara menghasilkannya ?. Mampu menjawab dan mempraktikkan
pertyaan-pertayaan ini maka berarti para pelaku bisnis (produsen) telah
melindungi kepentingan konsumen sesuai yang di inginkan dalam syariat Islam.
Hak untuk memilih barang yang
didalam Islam dikenal dengan istilah khiyar,
disini dimaksudkan agar konsumen diberi kebebesan mendapatkan barang atau
jasa sesuai dengan selera (keinginannya). Selain itu juga perlu mendapat
kualitas barang sesuai dengan harga yang ditetapkan dan disepakati. Perlu
dihindari adanya penipuan oleh pelaku bisnis terhadap konsumen Karena bisa jadi
barang yang telah diperoleh tidak sesuai dengan harga yang dibayar. Contoh
misalnya dalam hal timbangan (ukuran), Islam melarang dengan ancaman keras
sebagaimana firman Allah swt:
1.
kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, 2. (yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, 3. dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.[4]
3.
Azas dan
Tujuan Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen ini adalah
jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan
makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha.
a.
Azas
Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 2 UU No. 8/ 1999,
tentang Asas Perlindungan Konsumen : “Perlindungan konsumen berdasarkan
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta
kepastian hukum”.
Azas Perlindungan Konsumen:
·
Asas Manfaat
mengamanatkan
bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan,
·
Asas Keadilan
partisipasi
seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil,
·
Asas Keseimbangan
memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual,
·
Asas Keamanan dan Keselamatan
Konsumen
memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan,
·
Asas Kepastian Hukum
baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
b.
Tujuan
Perlindungan Konsumen
Sedangkan Pasal 3 UU No. 8/ 1999,
tentang Tujuan Perlindungan Konsumen :
·
meningkatkan kesadaran, kemampuan
dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
·
mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/
atau jasa;
·
meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
·
menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi;
·
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
·
meningkatkan kualitas barang dan/
atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. [5]
4.
Perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha
Pasal 8
Adapun
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
a. Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
Ø Tidak
sesuai dengan :
·
standar yang dipersyaratkan;
·
peraturan yang berlaku;
·
ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya
Ø Tidak
sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai
barang dan/atau jasa yang menyangkut :
·
berat bersih;
·
isi bersih dan jumlah dalam
hitungan;
·
kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran;
·
mutu, tingkatan, komposisi;
·
proses pengolahan;
·
gaya, mode atau penggunaan tertentu;
·
janji yang diberikan;
Ø Tidak
mencantumkan :
·
tanggal kadaluarsa/jangka waktu
penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;
·
informasi dan petunjuk penggunaan
dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Ø Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label.
Ø Tidak
memasang label/membuat penjelasan yang memuat:
·
Nama barang;
·
Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;
·
Tanggal pembuatan;
·
Aturan pakai;
·
Akibat sampingan;
·
Nama dan alamat pelaku usaha;
·
Keterangan penggunaan lain yang
menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat
Ø Rusak,
cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
b. Dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa :
Ø Secara
tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
·
Telah memenuhi standar mutu
tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna
tertentu.
·
Dalam keadaan baik/baru, tidak
mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari
barang tertentu.
Ø Secara
tidak benar dan selah-olah barang
dan/atau jasa tersebut :
·
Telah mendapatkan/memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
aksesoris tertentu.
·
Dibuat perusahaan yangmempunyai
sponsor, persetujuan/afiliasi.
·
Telah tersedia bagi konsumen.
Ø Langsung/tidak
langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
Ø Menggunakan
kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung
resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
Ø Menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Ø Dengan
harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak
dilaksanakan.
Ø Dengan
menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan
tetapi tidak sesuai dengan janji.
Ø Dengan
menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional,
suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
c. Dalam
menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang
mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan
mengenai :
·
Harga/tarifdan potongan harga atau
hadiah menarik yang ditawarkan.
·
Kondisi, tanggungan, jaminan,
hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
·
Kegunaan dan bahaya penggunaan
barang dan/aatau jasa.
d. Dalam
menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah
dengan cara undian dilarang :
·
Tidak melakukan penarikan hadiah
setelah batas waktu dijanjikan.
·
Mengumumkan hasilnya tidak melalui
media massa.
·
Memberikan hadiah tidak sesuai janji
dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah
yang dijanjikan.
e. Dalam
menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara
lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun
psikis.
f. Dalam
hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui
konsumen dengan :
·
Menyatakan barang dan/atau jasa
tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu
tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
·
Tidak berniat menjual barang yang
ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.
·
Tidak menyediaakan barang dan/atau
jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain.
Di
samping itu, pelaku usaha bisa saja mempermainkan harga dengan jalan
menaikkannya (mark up) dari harga
normal yang kadangkala tidak ketahui oleh calon pembeli, berapakah harga yang
sebenarnya. Permainan harga semacam ini pada prinsipnya merupakan bagian dari
permainan penjual yang memanfaatkan keawaman calon pembeli tentang harga barang
yang akan dibeli. justru krena itu Nabi saw dalam sebuah haditsnya secara umum
telah melarang mempermainkan harga:
“Barang siapa yang melakukan sesuatu
untuk mempengaruhi harga-harga barang kaum Muslimin dengan tujuan untuk
menikkan harga tersebut, maka sudah menjai hak Allah untuk menempatkannya di
‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat (HR. Ahmad dan Ibnu Majah
dari Abu Hurairah) ”.
Factor
yang mempengaruhi terjadinya harga yang tidak normal di masyarakat,
diantaranya:
a. permainan
harga yang disebabkan oleh praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (al ikhtikar),
b. penyalahgunaan
kelemahan konsumen seperti karena keluguannya-istirsal¸karena tidak terpelajar, atau karena keadaan konsumen yang
sedang terdesak untuk memenuhi kebutuhannya-dharurah,
c. karena
penipuan dan informasi yang tidak akurat/informative-ghurur.
Untuk
mengantisipasi permainan harga yang tidak wajar dalam pasar, fikih Islam telah
menawarkan beberapa solusi, antara lain larangan praktik ribawi, larangan monopoli dan persaingan tidak sehat, pemberlakuan al-tas’ir (fixing price), pemberlakuan khiyar
al-ghubn al-fahisy (perbedaan nilai tukar menyolok), pemberlakuan khiyar al-mustarsil (karena tidak tau
harga sehingga ia membeli atas kepercayaan pada pedagang), larangan jual beli an-najasy. Larangan jual beli talaqi rukban dan jual beli al-hadhir li bad.
Dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, sanksi yang dikenakan pada pelaku usaha
secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu administrative dan pidana.
1.
Sanksi
Administratif (pasal 60)
1) Badan
Penyelesain Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administrative
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20,
Pasal 25, dan Pasal 26;
2) Sanksi
administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah);
3) Tata
cara penetapan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
2.
Sanksi
Pidana
Pasal 61, berkaitan dengan sanksi
pidana menegaskan bahwa penuntututan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku
usaha dan/atau pengurusnya. Selanjutnya dalam pasal 62 secara eksplisit
dipertegas apa saja bentuk sanksi pidana tersebut.
1) Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, hruf
c, huruf e, ayat (2), Pasal 18dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
2) Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13 (1), Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, ayat (1) huruf d dan huruf f
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3) Terhadap
pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau
kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Berikut
pasal 63, dikatakan :
Terhadap
sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa :
a. Perampasan
barang tertentu
b. Pengumuman
keputusan hakim
c. Pembayaran
ganti rugi
d. Perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
e. Kewajiban
penarikan barang dari peredaran
f. Pencabutan
izin usaha
Demikianlah
sanksi yang dijatuhkan oleh kedua hukum, baik hokum syariah maupun hokum
positif (perundangan nasional), pada dasarnya sama-sama berkomitmen untuk
melindungi hak atau kepentingan konsumen.
Perlakuan perlindungan terhadap konsumen tidaklah berarti untuk
merugikan pelaku usaha, namun yang menjadi tujuan poko adalah ingin menciptakan
keadilan antara kedua belah pihak dengan prinsip saling menguntungkan. Itulah
idealitas setiap peraturan perundangan yang ingin mewujudkan keadilan,
kearifan, kenyamanan, keamanan, dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih penting
lagi adalah menciptakan kepastian hokum bagi masyarakat dalam kehidupan.
5.
Prinsip
Konsumsi dalam Islam
Ada
lima prinsip konsumsi dalam Islam sebagaimana yang dikemukakan M. Abdul Mannan
sebagai berikut:
a.
Prinsip
Keadilan
Prinsip ini mengandung arti yang mendasar sekali yang
maksudnya, dalam mencari rezeki seseorang harus dengan cara yang halal dan
tidak dilarang hokum, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an:
168.
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Kata
“Halal” dimaksudkan bahwa cara perolehannya harus sah secara hukum,
memperhatikan prinsip keadilan, dalam arti tidak menipu dan merampas hak orang
lain, karena apabila tidak, maka harta yang diperoleh dan dimakan tidak lebih
dari bangkai yang diharamkan.
b.
Prinsip Kebersihan
Kata
“bersih” disini dimaksudkan dalam arti lahir (fisik). Factor kebersihan memang
sangat di utamakan dalam ajaran Islam. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai
kita di ingatkan bahwa memperhatikan kebersihan itu merupakan cermin kualitas
keimanan seorang hamba. Oleh karena itu arahan al-Qur’an dan Sunnah yang
berkaitan dengan makanan, hendaknya makanan itu harus yang baik dan layak untuk
dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Secara tegas
Nabi saw menyatakan bahwa kebersihan dalam segala hal adalah sebagian dari
iman. Selain itu Rasullah saw mengatakan “makanan diberkahi jika kita mencuci
tangan sebelum dan sudah memakannya” (HR. Tirmizi). Namun demikian sisi lain
yang perlu disadari bahwa memelihara kebersihan merupakan sebuah keniscayaan
sebagai prakondisi yang harus diciptakan menuju tubuh yang sehat yang sangat
dianjurkan dalam ilmu medis.
c.
Prinsip kesederhanaan
Menekankan agar
dalam mengkonsumsi makanan dan minuman tidak berlebih-lebihan, sesuai dengan firman-Nya:
31.
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan
dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
“Israf”
yang berarti berlebihan, merupakan symbol keserakahan dalam segala hal di dunia
ini. Berlebihan dalam hal apapun, berarti seseorang berada dalam titik ekstrem
yang seringkali menimbulkan kesenjangan di tengah kehidupan.
d.
Prinsip Kemurahan
hati
Dengan mentaati
perintah Islam, maka tidak aka nada bahaya maupun dosa dalam mengonsumsi
makanan dan minuman halal yang dikaruniakan Tuhan karena kemurahan-Nya. Tetapi
jika dalam keadaan terpaksa diluar batas kemampuan manusia (darurat-emergency) ketentuan itu bisa saja
disimpangi sesuai dengan firman-Nya:
173. Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi Barangsiapa dalam
Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
e.
Prinsip moralitas
Berakhlak
dalam Islam tidak hanya di alamatkan pada sesama manusia, tetapi juga kepada
diri sendiri, lingkungan (alam) sekitar, dan bahkan terhadap Tuhan sekalipun.
Bagi
para pelaku bisnis yang berpegang teguh pada prinsip moralitas merupakan
prakondisi ketaatan mereka pada hukum yang berlaku. Sebagai konsekuensinya,
mereka akan selalu melisendungi segala hak konsumen sebagai bagian dari ajaran
hukum apapun secara universal.
6.
Gerakan Konsumen
Latar
belakang lahirnya gerakan konsumen sebagaimana dikemukakan A. Sonny Keraf
sebagai berikut :
a.
Banyaknya
produsen berhati emas dan punya kesadaran moral yang tinggi, namun hati dan
kesadaran moralnya itu sering dibungkam oleh keinginan untuk mendapatkan
keuntungan atau uang dalam waktu singkat dari pada mempedulikan hak konsumen.
b.
Di
banyak Negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, para produsen lebih dilindungi
oleh pemerintah karena mereka di anggap punya jasa besar dalam menopang
perekonomian Negara tersebut. Akibatnya, kepentingan mereka lebih diamankan
pemerintah dari pada kepentingan konsumen.
c.
Dalam
system social politik dimana kepastian hokum tidak jalan, pihak produsen akan
dengan mudah membeli kekuasaan untuk melindungi kepentingannya terhadap
tuntutan konsumen. Kalaupun konsumen menuntut, pihak prosusen selalu merasa
diri di atas angin.
d.
Konsumen,
(individual khususnya) merasa rugi kalau harus menuntut produsen dank arena itu
ia selalu berada dalam posisi yang lemah. Masih beruntung bahwa kini media
massa benar-benar digunakan sebagai kekuatan konsumen dimana keluhan mereka melalui
rubric surat pembaca punya dampak efektif mempengaruhi produsen.
Menurut Keraf, salah satu syarat bagi terpenuhi dan
terjaminnya hak-hak konsumen adalah perlunya pasar dibuka dan dibebaskan bagi
semua pelaku ekonomi, termasuk produsen dan konsumen.
Selanjutnya, gerakan konsumen di Barat lahir karena
berbagai tertimbang, yaitu:
a.
Kebutuhan
akan informasi dan pedoman yang akurat tentang berbagai produk yang beredar di
masyarakat.
b.
Kebutuhan
akan informasi dari produk jasa yang semakin terspesialisasi untuk membantu
konsumen agar bisa mengambil keputusan mana yang benar-benar dibutuhkan oleh
mereka.
c.
Adanya
pengaruh iklan yang seringkali membuat konsumen kebingungan dan tidak jarang
menipu atau merugikan mereka.
d.
Kurang
perhatiannya keamanan produk secara serius oleh produsen.
e.
Kebutuhan
konsumen akan wadah konsultasi, advokasi, dan perlindungan untuk menuntut hak
dan kepentingannya sesuai dengan prinsip kontrak jual beli yang adil.
Dari kenyataan di atas dapat dipahami
bagaimanapun kehadiran sebuah institusi semacam lembaga konsumen ini tetap
dibutuhkan guna melindungi pihak yang selalu diposisikan ditempat marjinal.
Kehadiran institusi ini antara lain untuk menyeimbangkan antara hak dan
kewajiban produsen dan konsumen. Jika sekiranya keseimbangan itu mulai terwujud
maka dapat dikatakan bahwa supremasi hukum sudah mulai terbangun ditengah
maraknya distorsi hukum yang semakin memprihatinkan di era globalisasi seperti
sekarang ini. [7]
Contoh kasusnya : Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil
Berbagai kasus
tentang perlindungan konsumen selalu menjadi perhatian, dalam kasus ini
biasanya pemenangnya dari pihak produsen. Contohnya kasus prita, prita dari
sekian banyaknya korban yang memperjuangkan haknya sebagai konsumen yang
menuntut pertanggungjawabannya dari penyedia jasa. Sebagai konsumen yang
merasakan ketidakpuasan atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional.
Seharusnya Prita wajar untuk mengajukan keluhan. Prita “bukan tanpa hak” untuk
menyampaikan keluhannya. Prita menyampaikankeluh kesahnya pada jejaring sosial
di internet, justru malah mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran
nama baik.
Muasalnya
adalah tulisan Prita dalam e-mail pribadi kepada rekan-rekannya yang berisi
keluhan terhadap pelayanan RS yang berlokasi di Serpong, Tangerang tersebut.
Prita awalnya memeriksakan diri pada 7 Agustus 2008 dengan keluhan panas tinggi
dan sakit kepala. Ia ditangani dr. Hengky dan dr. Indah, diagnosanya adalah
Demam Berdarah (DB) dan disarankan rawat-inap. Semasa rawat inap, Prita
merasakan berbagai kejanggalan seperti terus diberikan berbagai suntikan tanpa
penjelasan apa pun. Bahkan, tangan, leher dan daerah sekitar mata mengalami
pembengkakan. Ketika Prita memutuskan untuk pindah rumah sakit, ia kesulitan
mendapatkan data medis dirinya. Yang dipermasalahkannya adalah mengapa diagnosa
awal 27.000 trombosit bisa berubah mendadak menjadi 181.000 trombosit.
Prita mempertanyakan perbedaan yang signifikan itu.
Analisis kasus
:
Dalam kasus di
atas prita menyampaikan keluhan pelayanan RS yang berlokasi di Serpong,
Tangerang tersebut melalui email pribadinya, dengantindakan itu prita malah
mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran nama baik, pasal 27
ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Karena ancaman
hukuman maksimalnya disebutkan dalam pasal 45 ayat 1 UU yang sama lebih dari 5
tahun penjara atau tepatnya 6 tahun penjara, maka tersangka bisa ditahan.
Padahal prita
hanya menyampaikan keluhan yang dikemukakan Prita pada internet atas layanan
rumah sakit Omni Internasional yang tidak memuaskan konsumen dan itupun dijamin
oleh undang-undang. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yang berlaku sejak 20 April 2000.
Dari kasus di
atas akan membuat konsumen lainnya takut untuk menyuarakan keluhannya
yang pada akhirnya akan selalu menjadi obyek semena-mena pelaku usaha produk
barang atau jasa. keputusan yang kurang berpihak pada keadilan seperti itu
tidak bisa diterima,karna merugikan konsumen. [8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas maka kami menyimpulkan bahwa hingga saat ini perlindungan
konsumen masih menjadi hal yang harus diperhatikan. Konsumen sering kali
dirugikan dengan pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual.
Pelanggaran- pelanggaran yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam
skala kecil, namun sudah tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini
seharusnya pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus
segera menangani masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen harus menanggung
kerugian yang lebih berat akibat efek samping dari tidak adanya perlindungan
konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Djakfar, Muhammad. (2009). Hukum Bisnis, Malang: UIN-Malang Press.
Nasution, A.Z, Konsumen dan Hukum, cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Kotler, Philip. (2000). Principles
Of Marketing. Jakarta: Erlangga.
[1] Philip Kotler, Principles Of Marketing, (Jakarta:Erlangga.
2000), 166.
[3] Az Nasution, Hukun dan Konsumen, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. 1995)
[4] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, (Malang: UIN-Malang Press,
2009), 355
[6]
http://irwansyah-hukum.blogspot.com/2011/08/makalah-hukum-perlindungan-konsumen.html